
Salah satu rumah tua di Perkampungan Tua Bitombang: tiangnya terbuat dari kayu holasa yang sudah berusia ratusan tahun.
Perkampungan tua di Selayar adalah alternatif lain destinasi wisata sejarah di Selayar; di samping wisata bahari di Takabonerate yang sudah terkenal itu. Perkampungan tua adalah perkampungan yang sebagian masyarakatnya masih menjaga adat istiadat secara turun temurun, yang terkadang berbeda dengan adat istiadat kebanyakan. Setidaknya ada 2 (dua) perkampungan tua di Selayar yang layak untuk dikunjungi, yaitu Perkampungan Tua Bitombang dan Perkampungan Gantarang Lalang Bata; yang masing-masing mempunyai daya tarik yang berbeda.
Perkampungan Tua Bitombang

Suasana di dalam salah satu rumah tua Bitombang: berbincang dengan pemilik rumah yang merupakan cucu cicit pendiri rumah beberapa ratus tahun yang lalu. [maaf fotonya gelap]
Perkampungan Tua Bitombang terletak di Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontoharu; berjarak hampir 10 km dari kota Benteng (ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar). Perkampungan ini bisa ditempuh dengan kendaraan roda 2 maupun roda 4 dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari kota Benteng.
Jalan memang berliku membelah hutan dan perkebunan, relatif sempit untuk berpapasan antar kendaraan roda 4, namun sudah beton. Setelah melewati gapura selamat datang, mobil boleh diparkir begitu saja karena memang tidak ada tempat parkir khusus. Loket untuk karcis masuk pun juga tidak ada.
Hal paling menarik yang akan ditemui di Bitombang adalah arsitektur rumah panggung yang terkesan apa adanya, namun ternyata sudah berumur ratusan tahun, tanpa pernah mengganti tiang penyangganya yang terbuat dari kayu holasa. Bahkan konon kabarnya ada yang berumur mencapai 500 tahun.
Topografi alam yang berbukit adalah salah satu alasan masuk akal bahwa tiang penyangga yang menjulang pada bagian belakang rumah dengan ketinggian 10 – 20 meter dari permukaan tanah; sedangkan di bagian depan sekitar 2 – 3 meter saja.
Perkampungan Gantarang Lalang Bata
Setelah puas menjelajah Perkampungan Tua Bitombang, kami melanjutkan perjalanan menuju perkampungan Gantarang Lalang Bata. Dari Perkampungan Tua Bitombang, kami kembali ke arah kota Benteng, kemudian menuju ke arah timur. Perjalanan ditempuh sekitar 1 jam dari kota Benteng.
Perkampungan Gantarang Lalang Bata adalah sebuah kampung tua dan kecil yang terletak di Kecamatan Bontomanai. Setelah melewati gerbang bertuliskan “Perkampungan Tua Gantarang”, kita dihadapkan pada jalan desa sempit dan berliku; adalah tantangan tersendiri bagi wisatawan yang berniat berkunjung ke Gantarang Lalang Bata. Penghujung jalan adalah pelataran parkir untuk mobil dan motor yang tidak begitu luas. Dari salah satu sudut pelataran parkir terlihat dari ketinggian pantai timur Selayar terlihat tenang dan jernih.
Setelah kendaraan terparkir sempurna, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki anak tangga semen yang sudah terbangun rapi. Hal pertama yang akan terlihat ketika kita sudah sampai di penghujung anak tangga adalah bangunan masjid tua yang dibangun pada abad XVI pada masa pemerintahan Pangali Patta Raja (1567 – 1612).

Suasana khutbah Jum’at di masjid tua Gantarang Lalang Bata: naskah khutbah sepanjang hampir 3 meter.
Kami datang pas hari Jum’at dan berkesempatan sholat Jum’at di masjid tua Gantarang Lalang Bata. Hal menarik yang kami amati pada saat ritual sholat Jum’at adalah khotib berkhutbah dengan membaca naskah khutbah dalam bahasa Arab yang panjangnya hampir tiga meter. Naskah khutbah yang dibaca khotib adalah naskah khutbah yang telah disalin dari naskah aslinya, yang harus dibaca setiap khutbah Jum’at.
Di dalam masjid tua Gantarang Lalang Bata disimpan benda-benda bersejarah, diantaranya adalah pedang pusaka bersarung yang menyerupai tongkat serta mimbar dengan bendera kain putih di sisi kiri-kanannya yang terdapat tulisan syahadat dalam bahasa Arab yang digunakan untuk berkhutbah. Hal unik lainnya yang ditemui pada masjid tua Gantarang Lalang Bata ini adalah tiang tengah terbuat dari kayu pohon cabe raksasa.
Selepas sholat Jum’at, kami berjalan sekitar 30 meter dari masjid melalui trotoar beton. Di sana akan kita temukan Pakkojokang, yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai titik pusar bumi kita. Pakkojokang berupa lubang dangkal yang konon tidak pernah terisi air sekalipun hujan lebat. Apabila lobang ini sampai berisi air maka masayarakat setempat meyakini bahwa hari kiamat akan segera tiba. Wallahu’alam….
Demikianlah, setiap perjalanan wisata sejarah selalu memberi kesan perjalanan waktu mundur berabad-abad ke belakang; yang biasanya dibumbui mitos-mitos ajaib yang boleh dipercaya boleh tidak. Perjalanan itu akan memberikan kesan yang mendalam bahwa mbah-mbah buyut kita terkadang lebih arif dan bijak dalam menjalani kehidupan yang selaras dengan lingkungan.
#ayokeselayar
#wisataselayar
#wisatasejarahselayar